Sejarah Hukum Adat
LATAR
BELAKANG
Hukum adat adalah suatu kompleks norma-norma yang
bersumber pada persaan keadilan rakyat yang selalu berkembang serta meliputi
peraturan-peraturan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari dalam
masyarakat, sebagian besar tidak tertulis, senantiasa ditaati dan dihormati
oleh rakyat, karena mempunyai akibat hukum (sanksi). Hukum adat pada umumnya
belum atau tidak tertulis.
Tetapi tidak semua adat adalah hukum. Menurut Ter Haar
untuk melihat apakah sesuatu adat istiadat itu sudah merupakan hukum adat, maka
kita wajib melihat sikap penguasa masyarakat hukum yang bersangkutan terhadap
si pelanggar peraturan adat-istiadat yang bersangkutan. Jika penguasa
menjatuhkan hukuman pada si pelanggar, maka adat-istiadat itu sudah merupakan
hukum adat. Hukum adat berurat-akar pada kebuyaan tradisional. Hukum adat
adalah suatu hukum yang hidup karena ia menjelmakan perasaan hukum rakyat yang
nyata. Karena hukum adat menjelmakan perasaan hukum rakyat yang nyata, untuk
itu hukum adat terus-menerus dalam keadaan tumbuh dan berkembang seperti hidup
itu sendiri sesuai dengan perkembangan masyarakat.
Peraturan hukum adat yang terus berkembang inilah membuat
hukum adat selalu mengakami perunahan. Tiap peraturan hukum adat adalah timbul,
berkembang dan selanjutnya lenyap dengan lahirnya peraturan baru, sedang
peraturan baru itu berkembang juga, akan tetapi kemudian akan lenyap dengan
perubahan perasaan keadilanyang hidup dalam hati nurani rakyat yang menimbulkan
perubahan peraturan. Hal ini berlaku secara terus menerus seperti yang
diungkapkan Prof. Soepomo yang condong pada pendapat Ter Haar di mana sikap
petugas hukum haruslah bertindak untuk mempertahankannya.
Oleh karena sifat hukum adat yang tidak statis atau
dengan kata lain fleksibel, maka di dalam peraturan hukum adat perlu disepakati
suatu penetapan agar menjadi hukum positif. Hal ini sudah barang tentu
bertujuan untuk mempertahankan eksisensinya sekaligus menjadikan peraturan
tersebut menjadi peraturan hukum yang tertulis dan memiliki kekuatan hokum yang
tetap.
HUKUM ADAT
Secara etimologis istilah hukum adat terdiri dari
dua kata, yaitu hukum dan adat. Menurut SM. Amin, hukum adalah kumpulan
peraturan yang terdiri dari norma-norma dan sanksi-sanksi yang bertujuan
mengadakan ketertiban dalam pergaulan manusia sehingga keamanan dan ketertiban
terpelihara. Sedangkan adat adalah merupakan pencerminan daripada kepribadian
sesuatu bangsa, merupakan salah satu penjelmaan daripada jiwa bangsa yang
bersangkutan dari abad ke abad.
Hukum adat merupakan suatu istilah nyang
diterjemahkan dari bahasa Belanda. Pada mulanya hukum adat dinamakan “adat
recht” oleh Snouck Hurgronje dalam bukunya yang berjudul “De Atjehers” yang
berarti “Orang-orang Aceh”. Alasan snouck Hurgronje memberi judul tersebut,
karena pada masa penjajahan Belanda, orang Aceh sangat berpegang teguh kepada
hukum adat yang dimasukkan dalam hukum adat. Sementara van Vollenhoven dalam
bukunya yang berjudul “Het Adatrecht Van Nederlandsche Indie” yang artinya
hukum adat Hindia-Belanda. Alasan Van Vollenhoven memberi judul tersebut karena
ia menganggap masyarakat Indonesia banyak yang menganut hukum Hindia-belanda,
melalui buku ini Van Vollenhoven dianggap sebagai bapak hukum adat oleh
masyarakat Indonesia.
Dalam ranah pemikiran Arab kontemporer, adat atau
tradisi diartikan dengan warisan budaya, pemikiran, agama, sastra, dan kesenian
yang bermuatan emosional dan ideologis. Hukum adat berasal dari kata ‘hukum’
dan ‘adat’. kata hukum berasal dari kata bahasa arab hukm dan kata ’adat’ berasal dari kata ‘adah. Oleh karena itu,
pengertian hukum Adat menurut Prof. Dr. Soepomo, SH. adalah hukum yang tidak
tertulis di dalam peraturan legislatif meliputi peraturan yang hidup meskipun
tidak ditetapkan oleh yang berwajib tetapi ditaati dan didukung oleh rakyat
berdasarkan atas keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan tersebut mempunyai
kekuatan hukum.
Batasan bidang yang menjadi objek kajian hukum Adat
meliputi:
- Hukum Negara,
- Hukum Tata Usaha Negara,
- Hukum Pidana,
- Hukum Perdata, dan
- Hukum Antar Bangsa Adat
Di masyarakat, wujud hukum adat, yaitu:
- Hukum yang tidak tertulis (jus non scriptum), merupakan bagian yang terbesar.
- Hukum yang tertulis (jus scriptum), hanya sebagian kecil saja, misalnya peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh raja dahulu seperti pranatan-pranatan di Jawa.
- Uraian hukum secara tertulis. Uraian ini merupakan suatu hasil penelitian yang dibukukan.
Paling tidak ada tiga kategori periodesasi hal penting
ketika berbicara tentang sejarah hukum adat, yaitu:
- Sejarah proses pertumbuhan atau perkembangan hukum adat itu sendiri. peraturan adat istiadat kita ini pada hakikatnya sudah terdapat pada zaman pra hindu.
- Sejarah hukum adat sebagai sistem hukum dari tidak/belum dikenal hingga sampai dikenal dalam dunia ilmu pengetahuan.
- Sejarah kedudukan hukum adat sebagai masalah politik hukum di dalam system perundang-undangan di Indonesia pada periode ini.
Faktor yang
mempengaruhi di samping faktor astronomis –iklim–dan geografis–kondisi alam–
serta watak bangsa yang bersangkutan, maka faktor-faktor terpenting yang
mempengaruhi proses perkembangan hukum
adat adalah:
a.
Magis dan Animisme
Alam pikiran mistis-magis serta pandangan hidup
animistis-magis sesungguhnya dialami oleh tiap bangsa di dunia ini. faktor
pertama ini khususnya mempengaruhi dalam empat hal, sebagai berikut:
1) Pemujaan roh-roh
leluhur,
2) Percaya adanya roh-roh
jahat dan baik,
3) Takut kepada hukuman
ataupun pembalasan oleh kekuatan gaib, dan
4) Dijumpainya orang orang
yang oleh rakyat dianggap dapat melakukan hubungan
dengan kekuatan-kekuatan gaib
b. Agama
1)
Agama Hindu. pengaruh terbesar agama ini terdapat
di bali meskipun pengaruh dalam hukum adatnya sedikit sekali.
2)
Agama Islam. Pengaruh terbesar nyata sekali
terlihat dalam hukum perkawinan.
3)
Agama Kristen. Hukum perkawinan kristen diresepsi
dalam hukum adatnya.
c. Kekuasaan yang lebih tinggi daripada persekutuan hukum
adat.
Kekuasaan itu adalah kekuasaan yang meliputi
daerah-daerah yang lebih luas daripada wilayah satu persekutuan hukum, seperti
misalnya kekuasaan raja-raja, kepala kuria, nagari.
d. Hubungan dengan orang-orang
ataupun kekuasaan asing
Faktor ini sangat besar pengaruhnya. Hukum adat
yang semula sudah meliputi segala bidang kehidupan hukum, oleh kekuasaan
asing–kekuasaan penjajahan Belanda–menjadi terdesak sedemikian rupa hingga
akhirnya praktis menjadi bidang perdata material saja.
SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM ADAT
Peraturan adat istiadat kita ini
merupakan adat-adat melayu-polinesia yang sudah terdapat pada zaman pra-hindu.
Lambat laun terjadi akulturasi antara kultur hindu, islam dan Kristen yang
kemudian mempengaruhi kultur asli tersebut. Saat ini menurut kenyataan hukum
adat yang hidup pada rakyat adalah merupakan peraturan-peraturan adat-istiadat
yang ada pada zaman pra-hindu dan hasil akulturasi antar agama tersebut.
Setelah terjadi
akulturasi itu, maka hukum adat atau hukum pribumi atau “Inladsrecht” menurut
Van Vaollenhoven terdiri dari:
a. Hukum yang tidak tertulis (jus non scriptum):
merupakan bagian yang terbesar yang bersumber pada hukum asli penduduk.
b. Hukum yang ditulis (jus scriptum): merupakan
bagian kecil saja yang bersumber dari ketentuan hukum agama.
2 SEJARAH HUKUM ADAT MULAI
DARI TIDAK DIKENAL SAMPAI DIKENAL DALAM ILMU PENGETAHUAN
Sejarah hukum adat sebagai sistem hukum dari yang
tidak dikenal hingga dikenal dalam ilmu pengetahuan dapat di bagi atas empat
periodesasi waktu di antaranya adalah ;
a. Sebelum Zaman kompeni.
b. Pada zaman kompeni (1602-1800).
c. Pada zaman Daendels (1808- 1811).
d. Pada zaman Raffles (1811-1816).
Dalam empat tahapan waktu mengenai proses sejarah hukum adat hingga sampai
mulai dikenal dalam ilmu pengetahuan, pada mulanya melalui proses yang panjang. Pada zaman sebelum kompeni
yaitu sebelum tahun 1602 bangsa asing belum menaruh perhatian kepada hukum
adat. Barulah pada zaman kompeni bangsa asing mulai menaruh perhatian terhadap
adat-istiadat kita baik atas inisiatif sendiri maupun perintah tugas dari penguasa
kolonial pada masa itu.
Barulah pada zaman kompeni tepatnya pada tahun 1602-1800 hukum adat akan
tetap dibiarkan dan tetap berlaku di masyarakat. Namun jika kepentingan kompeni
terganggu seperti dalam kepentingan badan perniagaan VOC atau untuk keperluan
tertentu, maka kompeni akan bertindak opportunitelt terhadap hukum adat
tersebut. Sebelum datang VOC dan belum ada penelitian tentang hukum adat, dan
semasa VOC menggunakan politik oppurtinity nya, maka pejabat Belanda yang
mengurus Negara jajahan mengintruksikan kepada jendral pemimpin daerah jajahan
masing-masing untuk menerapkan hokum Belanda di Indonesia yaitu pada tnggal 1
Maret 1621 yang baru dilaksanakan pada pemerintahan De Carventer yang telah
melekukakn penelitian dan menyimpulkan bahwa hukum adat Indonesia masih hidup.
Oleh karena itu,
Carventer memberikan tambahan bahwa hukum itu disesuaikan sehingga perlu 4
kodifikasi hukum adat yaitu :
1. Tahun
1750, untuk keperluan Landrad (pengadilan) di Serang dengan kitab hukum
“MOGHARRAR” yang mengatur khusu pidana adat (menurut Van Vollenhoven kitab
tersebut berasal dari hukum adat).
2. Tahun 1759, Van Clost Wijck mengeluarkan kitab yaitu
“COMPEDIUM” (pegangan/ikhtisar) yang terkenal dengan Compedium Van Clost Wijck
mengenai Undang-Undang Bumi Putera di lingkungan kraton Bone dan Goa.
3. COMPENDIUM FREIHER tentang Peraturan Hukum Islam mengenai
nikah, talak, dan warisan.
4. HASSELAER, beliau berhasil mengumpulkan buku-buku hukum
untuk para hakim di Cirebon yang terkenal dengan PAPAKEM CIREBON.
Jaman Daendels (1808-1811) Beranggapan bahwa memang ada
hukum yang hidup dalam masyarakat adat tetapi derajatnya lebih rendah dari
hukum eropa, jadi tidak akan mempengaruhi apa-apa sehingga hukum eropa tidak
akan mengalami perubahan karenanya. Jaman Raffles (1811-1816) Pada zaman ini
Gubernur Jenderal dari Inggris membentuk komisi MACKENZIE atau suatu panitia
yang tugasnya mengkaji/meneliti peraturan-peraturan yang ada di masyarakat,
untuk mengadakan perubahan-perubahan yang pasti dalam membentuk pemerintahan
yang dipimpinnya. Setelah terkumpul hasil penelitian komisi ini yaitu pada
tanggal 11 Pebruari 1814 dibuat peraturan yaitu Regulation for the More
Effectual Administration of Justice in the Provincial Court of Java yang isinya
:
a.
Residen menjabat sekaligus sebagai Kepala Hakim
b.
Susunan pengadilan terdiri dari:
1)
Residen’s court
2)
Bupati’s court
3)
Division court
c.
Ada juga Circuit of court atau pengadilan keliling
d.
Yang berlaku adalah native law dan unchained costum untuk Bupati’s court
dan untuk Residen (orang Inggris) memakai hukum Inggris.
SEJARAH POLITIK HUKUM ADAT
Sejarah politik
hukum adat dalam perundang-undangan di indonesia terbagi dalam tiga periode
yaitu:
A. Masa menjelang
tahun 1848.
B. Masa pada tahun
1848 dan seterusnya.
C. Sejak tahun
1927.
Untuk
lebih jelasnya berdasar periodesasi di atas maka akan diuraikan mengenai
sejarah politik hukum adat di Indonesia sebagai berikut.
A. Masa menjelang tahun 1848.
Pada
masa kompeni hukum adat dibiarkan saja seperti sediakala hidup berlaku untuk
bangsa Indonesia. Untuk pertama kali
hukum adat mendapat sorotan pemerintah Belanda adalah pada masa pengangkatan
Hageman sebagai ketua mahkamah agung Belanda pada tanggal 30 juli 1830.
Pada
waktu itu Hageman melakukan pemeriksaan tugas istimewa yang bertujuan agar di
Indonesia bisa di lakukan persamaan hukum dengan hukum eropa. Hageman
beranggapan agar adanya kodifikasi hukum sipil yang berbahasa Indonesia yang
berlaku bagi bangsa Indonesia dan eropa.
Namun hal ini tak dapat terealisasikan karena tempo penugasan telah
selesai dan Hageman tak mampu menyelesaikannya.
Dengan
segala usaha yang dilakukan pemerintah Belanda untuk memberlakukan hukum
Belanda di Indonesia yaitu melalui panitia yang diketuai Scholten ( ketua
mahkamah agung Hindia Belanda dahulu) , beranggapan bahwa Indonesia terhindar
dari asas persamaan hukum pemerintah belanda. Hal tersebut juga diperkuat oleh
J. Van Der Vinne yaitu seorang ahli jajahan Belanda yang beranggapan bahwa
hukum Belanda tidak bisa diberlakukan di Indonesia karena masyarakatnya
pluralis. Sehingga jika tetap diberlakukan menurut J. Van Der Vinne hal ini
melanggar hak-hak adat istiadat dan akann memecah banyak sendi-sendi hukum.
Kupasan
Van der Vinne inilah yang dijadikan pedoman pemerintah Belanda dan ikut
mempengaruhi kedudukan hukum adat.
B. Masa Pada tahun
1848 dan Seterusnya.
Hukum adat menjadi
masalah politik hukum pada saat pemerintah Hindia Belanda akan memberlakukan
hukum eropa atau hukum yang berlaku di Belanda menjadi hukum positif di Hindia
Belanda (Indonesia) melalui asas konkordansi. Mengenai hukum adat timbulah masalah
bagi pemerintah colonial, sampai dimana hukum ini dapat digunakan bagi
tujuan-tujuan Belanda serta kepentingan-kepentingan ekonominya, dan sampai
dimana hukum adat itu dapat dimasukkan dalam rangka politik Belanda.
Kepentingan atau kehendak bangsa Indonesia tidak masuk perhitungan pemerintah
colonial. Apabila diikuti secara kronologis usaha-usaha baik pemerintah Belanda
di negerinya sendiri maupun pemerintah colonial yang ada di Indonesia ini, maka
secara ringkasnys undang-undang yang bertujuan menetapkan nasib ataupun
kedudukan hukum adat seterusnya didalam system perundang-undangan di Indonesia,
adalah sebagai berikut :
1.
Mr. Wichers, Presiden Mahkamah Agung, ditugaskan untuk
menyelidiki apakah hukum adat privat itu tidak dapat diganti dengan hukum
kodifikasi Barat. Rencana kodifikasi Wichers gagal/
2.
Sekitar tahun 1870, Van der Putte, Menteri Jajahan
Belanda, mengusulkan penggunaan hukum tanah Eropa bagi penduduk desa di
Indonesia untuk kepentingan agraris pengusaha Belanda. Usaha inipun gagal.
3. Pada tahun 1900, Cremer, Menteri Jajahan, menghendaki
diadakan kodifikasi local untuk sebagian hukum adat dengan mendahulukan daerah,
daerah yang penduduknya telah memeluk agama Kristen. Usaha ini belum
terlaksana.
4. Kabinet Kuyper pada tahun 1904 mengusulkan suatu rencana
undangundang untuk menggantikan hukum adat dengan hukum Eropa. Pemerintah
Belanda menghendaki supaya seluruh penduduk asli tunduk pada unifikasi hukum
secara Barat. Usaha ini gagal, sebab Parlemen Belanda menerima suatu amandemen
yakni amandemen Van Idsinga.
5. Pada tahun 1914 Pemerintah Belanda dengan tidak
menghiraukan amandemen Idsinga, mengumumkan rencana KUH Perdata bagi seluruh
golongan penduduk di Indonesia. Ditentang oleh Van Vollenhoven dan usaha ini
gagal.
6.
Pada tahun 1923 Mr. Cowan, Direktur Departemen Justitie
di Jakarta membuat rencana baru KUH Perdata dalam tahun 1920, yang diumumkan
Pemerintah Belanda sebagai rencana unifikasi dalam tahun 1923. Usaha ini gagal
karena kritikan Van Vollenhoven. Pengganti Cowan, yaitu Mr Rutgers memberitahu
bahwa meneruskan pelaksanaan kitab undangundang kesatuan itu tidak mungkin.
Dalam tahun 1927 Pemerintahn Hindia Belanda mengubah haluannya, menolak
penyatuan hukum (unifikasi). Sejak tahun 1927 itu politik Pemerintah Hindia
Belanda terhadap hukum adat mulai berganti haluan, yaitu dari “unifikasi”
beralih ke “kodifikasi”.
Hukum adat menjadi
masalah politik hukum pada saat pemerintah Hindia Belanda akan memberlakukan
hukum Eropa atau hukum yang berlaku di Belanda menjadi hukum positif di Hindia
Belanda (Indonesia) melalui asas konkordansi. Mengenai hukum adat timbulah
masalah bagi pemerintah colonial, sampai dimana hukum ini dapat digunakan bagi
tujuan-tujuan Belanda serta kepentingan-kepentingan ekonominya, dan sampai
dimana hukum adat itu dapat dimasukkan dalam rangka politik Belanda.
Kepentingan atau kehendak bangsa Indonesia tidak masuk perhitungan pemerintah
colonial. Apabila diikuti secara kronologis usaha-usaha baik pemerintah Belanda
di negerinya sendiri maupun pemerintah colonial yang ada di Indonesia ini, maka
secara ringkasnys undang-undang yang bertujuan menetapkan nasib ataupun
kedudukan hukum adat seterusnya didalam system perundang-undangan di Indonesia,
adalah sebagai berikut:
7.
Mr. Wichers, Presiden Mahkamah Agung, ditugaskan untuk
menyelidiki apakah hukum adat privat itu tidak dapat diganti dengan hukum
kodifikasi Barat. Rencana kodifikasi Wichers gagal/
8.
Sekitar tahun 1870, Van der Putte, Menteri Jajahan
Belanda, mengusulkan penggunaan hukum tanah Eropa bagi penduduk desa di
Indonesia untuk kepentingan agraris pengusaha Belanda. Usaha inipun gagal.
9.
Pada tahun 1900, Cremer, Menteri Jajahan, menghendaki
diadakan kodifikasi local untuk sebagian hukum adat dengan mendahulukan daerah,
daerah yang penduduknya telah memeluk agama Kristen. Usaha ini belum
terlaksana.
10. Kabinet Kuyper pada tahun 1904 mengusulkan suatu rencana
undangundang untuk menggantikan hukum adat dengan hukum Eropa. Pemerintah
Belanda menghendaki supaya seluruh penduduk asli tunduk pada unifikasi hukum
secara Barat. Usaha ini gagal, sebab Parlemen Belanda menerima suatu amandemen
yakni amandemen Van Idsinga.
11. Pada tahun 1914 Pemerintah Belanda dengan tidak
menghiraukan amandemen Idsinga, mengumumkan rencana KUH Perdata bagi seluruh
golongan penduduk di Indonesia. Ditentang oleh Van Vollenhoven dan usaha ini
gagal.
12. Pada tahun 1923 Mr. Cowan, Direktur Departemen Justitie
di Jakarta membuat rencana baru KUH Perdata dalam tahun 1920, yang diumumkan
Pemerintah Belanda sebagai rencana unifikasi dalam tahun 1923. Usaha ini gagal
karena kritikan Van Vollenhoven. Pengganti Cowan, yaitu Mr Rutgers memberitahu
bahwa meneruskan pelaksanaan kitab undangundang kesatuan itu tidak mungkin.
Dalam tahun 1927 Pemerintahn Hindia Belanda mengubah haluannya, menolak
penyatuan hukum (unifikasi). Sejak tahun 1927 itu politik Pemerintah Hindia
Belanda terhadap hukum adat mulai berganti haluan, yaitu dari “unifikasi” beralih
ke “kodifikasi”.
C. Sejak tahun 1927.
Dalam tahun 1927 Pemerintahn Hindia Belanda mengubah
haluannya, menolak penyatuan hukum (unifikasi). Sejak tahun 1927 itu politik
Pemerintah Hindia Belanda terhadap hukum adat mulai berganti haluan, yaitu dari
“unifikasi” beralih ke “kodifikasi”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar