Senin, 29 Mei 2017

Sejarah Hukum Adat

Sejarah Hukum Adat

LATAR BELAKANG
Hukum adat adalah suatu kompleks norma-norma yang bersumber pada persaan keadilan rakyat yang selalu berkembang serta meliputi peraturan-peraturan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat, sebagian besar tidak tertulis, senantiasa ditaati dan dihormati oleh rakyat, karena mempunyai akibat hukum (sanksi). Hukum adat pada umumnya belum atau tidak tertulis.
Tetapi tidak semua adat adalah hukum. Menurut Ter Haar untuk melihat apakah sesuatu adat istiadat itu sudah merupakan hukum adat, maka kita wajib melihat sikap penguasa masyarakat hukum yang bersangkutan terhadap si pelanggar peraturan adat-istiadat yang bersangkutan. Jika penguasa menjatuhkan hukuman pada si pelanggar, maka adat-istiadat itu sudah merupakan hukum adat. Hukum adat berurat-akar pada kebuyaan tradisional. Hukum adat adalah suatu hukum yang hidup karena ia menjelmakan perasaan hukum rakyat yang nyata. Karena hukum adat menjelmakan perasaan hukum rakyat yang nyata, untuk itu hukum adat terus-menerus dalam keadaan tumbuh dan berkembang seperti hidup itu sendiri sesuai dengan perkembangan masyarakat.
Peraturan hukum adat yang terus berkembang inilah membuat hukum adat selalu mengakami perunahan. Tiap peraturan hukum adat adalah timbul, berkembang dan selanjutnya lenyap dengan lahirnya peraturan baru, sedang peraturan baru itu berkembang juga, akan tetapi kemudian akan lenyap dengan perubahan perasaan keadilanyang hidup dalam hati nurani rakyat yang menimbulkan perubahan peraturan. Hal ini berlaku secara terus menerus seperti yang diungkapkan Prof. Soepomo yang condong pada pendapat Ter Haar di mana sikap petugas hukum haruslah bertindak untuk mempertahankannya. 
Oleh karena sifat hukum adat yang tidak statis atau dengan kata lain fleksibel, maka di dalam peraturan hukum adat perlu disepakati suatu penetapan agar menjadi hukum positif. Hal ini sudah barang tentu bertujuan untuk mempertahankan eksisensinya sekaligus menjadikan peraturan tersebut menjadi peraturan hukum yang tertulis dan memiliki kekuatan hokum yang tetap.

HUKUM ADAT
Secara etimologis istilah hukum adat terdiri dari dua kata, yaitu hukum dan adat. Menurut SM. Amin, hukum adalah kumpulan peraturan yang terdiri dari norma-norma dan sanksi-sanksi yang bertujuan mengadakan ketertiban dalam pergaulan manusia sehingga keamanan dan ketertiban terpelihara. Sedangkan adat adalah merupakan pencerminan daripada kepribadian sesuatu bangsa, merupakan salah satu penjelmaan daripada jiwa bangsa yang bersangkutan dari abad ke abad.
Hukum adat merupakan suatu istilah nyang diterjemahkan dari bahasa Belanda. Pada mulanya hukum adat dinamakan “adat recht” oleh Snouck Hurgronje dalam bukunya yang berjudul “De Atjehers” yang berarti “Orang-orang Aceh”. Alasan snouck Hurgronje memberi judul tersebut, karena pada masa penjajahan Belanda, orang Aceh sangat berpegang teguh kepada hukum adat yang dimasukkan dalam hukum adat. Sementara van Vollenhoven dalam bukunya yang berjudul “Het Adatrecht Van Nederlandsche Indie” yang artinya hukum adat Hindia-Belanda. Alasan Van Vollenhoven memberi judul tersebut karena ia menganggap masyarakat Indonesia banyak yang menganut hukum Hindia-belanda, melalui buku ini Van Vollenhoven dianggap sebagai bapak hukum adat oleh masyarakat Indonesia. 
Dalam ranah pemikiran Arab kontemporer, adat atau tradisi diartikan dengan warisan budaya, pemikiran, agama, sastra, dan kesenian yang bermuatan emosional dan ideologis. Hukum adat berasal dari kata ‘hukum’ dan ‘adat’. kata hukum berasal dari kata bahasa arab hukm dan kata ’adat’ berasal dari kata ‘adah.  Oleh karena itu, pengertian hukum Adat menurut Prof. Dr. Soepomo, SH. adalah hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan legislatif meliputi peraturan yang hidup meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib tetapi ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum.
Batasan bidang yang menjadi objek kajian hukum Adat meliputi:
  •       Hukum Negara,
  •       Hukum Tata Usaha Negara,
  •       Hukum Pidana,
  •       Hukum Perdata, dan
  •       Hukum Antar Bangsa Adat


Di masyarakat, wujud hukum adat, yaitu: 
  •        Hukum yang tidak tertulis (jus non scriptum), merupakan bagian yang terbesar.
  •    Hukum yang tertulis (jus scriptum), hanya sebagian kecil saja, misalnya peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh raja dahulu seperti pranatan-pranatan          di Jawa.
  •        Uraian hukum secara tertulis. Uraian ini merupakan suatu hasil penelitian yang dibukukan.
SEJARAH HUKUM ADAT
Paling tidak ada tiga kategori periodesasi hal penting ketika berbicara tentang sejarah hukum adat, yaitu:
  •        Sejarah proses pertumbuhan atau perkembangan hukum adat itu sendiri. peraturan adat istiadat kita ini pada hakikatnya sudah terdapat pada zaman pra hindu.
  •       Sejarah hukum adat sebagai sistem hukum dari tidak/belum dikenal hingga sampai dikenal            dalam            dunia ilmu pengetahuan.
  •        Sejarah kedudukan hukum adat sebagai masalah politik hukum di dalam system perundang-undangan di Indonesia pada periode ini.

            Faktor  yang mempengaruhi di samping faktor astronomis –iklim–dan geografis–kondisi alam– serta watak bangsa yang bersangkutan, maka faktor-faktor terpenting yang mempengaruhi proses perkembangan hukum        adat adalah:
a.       Magis dan Animisme
Alam pikiran mistis-magis serta pandangan hidup animistis-magis sesungguhnya dialami oleh tiap bangsa di dunia ini. faktor pertama ini khususnya mempengaruhi dalam empat hal, sebagai berikut:
1) Pemujaan roh-roh leluhur,
2) Percaya adanya roh-roh jahat dan baik,
3) Takut kepada hukuman ataupun pembalasan oleh kekuatan gaib, dan
4) Dijumpainya orang orang yang oleh rakyat dianggap dapat melakukan hubungan
     dengan kekuatan-kekuatan gaib
b.  Agama
1)      Agama Hindu. pengaruh terbesar agama ini terdapat di bali meskipun pengaruh dalam hukum adatnya sedikit sekali.
2)      Agama Islam. Pengaruh terbesar nyata sekali terlihat dalam hukum perkawinan.
3)      Agama Kristen. Hukum perkawinan kristen diresepsi dalam hukum adatnya.
c. Kekuasaan yang lebih tinggi daripada persekutuan hukum adat. 
Kekuasaan itu adalah kekuasaan yang meliputi daerah-daerah yang lebih luas daripada wilayah satu persekutuan hukum, seperti misalnya kekuasaan raja-raja, kepala kuria, nagari.
d. Hubungan dengan  orang-orang ataupun kekuasaan asing
Faktor ini sangat besar pengaruhnya. Hukum adat yang semula sudah meliputi segala bidang kehidupan hukum, oleh kekuasaan asing–kekuasaan penjajahan Belanda–menjadi terdesak sedemikian rupa hingga akhirnya praktis menjadi bidang perdata material saja.

SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM ADAT
Peraturan adat istiadat kita ini merupakan adat-adat melayu-polinesia yang sudah terdapat pada zaman pra-hindu. Lambat laun terjadi akulturasi antara kultur hindu, islam dan Kristen yang kemudian mempengaruhi kultur asli tersebut. Saat ini menurut kenyataan hukum adat yang hidup pada rakyat adalah merupakan peraturan-peraturan adat-istiadat yang ada pada zaman pra-hindu dan hasil akulturasi antar agama tersebut.
Setelah terjadi akulturasi itu, maka hukum adat atau hukum pribumi atau “Inladsrecht” menurut Van Vaollenhoven terdiri dari:
a. Hukum yang tidak tertulis (jus non scriptum): merupakan bagian yang terbesar yang bersumber pada hukum asli penduduk.
b. Hukum yang ditulis (jus scriptum): merupakan bagian kecil saja yang bersumber dari ketentuan hukum agama.
SEJARAH HUKUM ADAT MULAI DARI TIDAK DIKENAL SAMPAI   DIKENAL DALAM ILMU PENGETAHUAN
Sejarah hukum adat sebagai sistem hukum dari yang tidak dikenal hingga dikenal dalam ilmu pengetahuan dapat di bagi atas empat periodesasi waktu di antaranya adalah ;
a. Sebelum Zaman kompeni.
b. Pada zaman kompeni (1602-1800).
c. Pada zaman Daendels (1808- 1811).
d. Pada zaman Raffles (1811-1816).
Dalam empat tahapan waktu mengenai proses sejarah hukum adat hingga sampai mulai dikenal dalam ilmu pengetahuan, pada mulanya melalui proses yang panjang. Pada zaman sebelum kompeni yaitu sebelum tahun 1602 bangsa asing belum menaruh perhatian kepada hukum adat. Barulah pada zaman kompeni bangsa asing mulai menaruh perhatian terhadap adat-istiadat kita baik atas inisiatif sendiri maupun perintah tugas dari penguasa kolonial pada masa itu.
Barulah pada zaman kompeni tepatnya pada tahun 1602-1800 hukum adat akan tetap dibiarkan dan tetap berlaku di masyarakat. Namun jika kepentingan kompeni terganggu seperti dalam kepentingan badan perniagaan VOC atau untuk keperluan tertentu, maka kompeni akan bertindak opportunitelt terhadap hukum adat tersebut. Sebelum datang VOC dan belum ada penelitian tentang hukum adat, dan semasa VOC menggunakan politik oppurtinity nya, maka pejabat Belanda yang mengurus Negara jajahan mengintruksikan kepada jendral pemimpin daerah jajahan masing-masing untuk menerapkan hokum Belanda di Indonesia yaitu pada tnggal 1 Maret 1621 yang baru dilaksanakan pada pemerintahan De Carventer yang telah melekukakn penelitian dan menyimpulkan bahwa hukum adat Indonesia masih hidup.
Oleh karena itu, Carventer memberikan tambahan bahwa hukum itu disesuaikan sehingga perlu 4 kodifikasi hukum adat yaitu :
1.   Tahun 1750, untuk keperluan Landrad (pengadilan) di Serang dengan kitab hukum “MOGHARRAR” yang mengatur khusu pidana adat (menurut Van Vollenhoven kitab tersebut berasal dari hukum adat).
2.     Tahun 1759, Van Clost Wijck mengeluarkan kitab yaitu “COMPEDIUM” (pegangan/ikhtisar) yang terkenal dengan Compedium Van Clost Wijck mengenai Undang-Undang Bumi Putera di lingkungan kraton Bone dan Goa.
3.     COMPENDIUM FREIHER tentang Peraturan Hukum Islam mengenai nikah, talak, dan warisan.
4.     HASSELAER, beliau berhasil mengumpulkan buku-buku hukum untuk para hakim di Cirebon yang terkenal dengan PAPAKEM CIREBON.
Jaman Daendels (1808-1811) Beranggapan bahwa memang ada hukum yang hidup dalam masyarakat adat tetapi derajatnya lebih rendah dari hukum eropa, jadi tidak akan mempengaruhi apa-apa sehingga hukum eropa tidak akan mengalami perubahan karenanya. Jaman Raffles (1811-1816) Pada zaman ini Gubernur Jenderal dari Inggris membentuk komisi MACKENZIE atau suatu panitia yang tugasnya mengkaji/meneliti peraturan-peraturan yang ada di masyarakat, untuk mengadakan perubahan-perubahan yang pasti dalam membentuk pemerintahan yang dipimpinnya. Setelah terkumpul hasil penelitian komisi ini yaitu pada tanggal 11 Pebruari 1814 dibuat peraturan yaitu Regulation for the More Effectual Administration of Justice in the Provincial Court of Java yang isinya :
a.       Residen menjabat sekaligus sebagai Kepala Hakim
b.      Susunan pengadilan terdiri dari:
1)      Residen’s court
2)      Bupati’s court
3)      Division court
c.       Ada juga Circuit of court atau pengadilan keliling
d.      Yang berlaku adalah native law dan unchained costum untuk Bupati’s court dan untuk Residen (orang Inggris) memakai hukum Inggris.

 SEJARAH POLITIK HUKUM ADAT
Sejarah politik hukum adat dalam perundang-undangan di indonesia terbagi dalam tiga periode yaitu:
A. Masa menjelang tahun 1848.
B. Masa pada tahun 1848 dan seterusnya.
C. Sejak tahun 1927.
Untuk lebih jelasnya berdasar periodesasi di atas maka akan diuraikan mengenai sejarah politik hukum adat di Indonesia sebagai berikut.
A. Masa menjelang tahun 1848.

Pada masa kompeni hukum adat dibiarkan saja seperti sediakala hidup berlaku untuk bangsa Indonesia.  Untuk pertama kali hukum adat mendapat sorotan pemerintah Belanda adalah pada masa pengangkatan Hageman sebagai ketua mahkamah agung Belanda pada tanggal 30 juli 1830.
Pada waktu itu Hageman melakukan pemeriksaan tugas istimewa yang bertujuan agar di Indonesia bisa di lakukan persamaan hukum dengan hukum eropa. Hageman beranggapan agar adanya kodifikasi hukum sipil yang berbahasa Indonesia yang berlaku bagi bangsa Indonesia dan eropa.  Namun hal ini tak dapat terealisasikan karena tempo penugasan telah selesai dan Hageman tak mampu menyelesaikannya.
Dengan segala usaha yang dilakukan pemerintah Belanda untuk memberlakukan hukum Belanda di Indonesia yaitu melalui panitia yang diketuai Scholten ( ketua mahkamah agung Hindia Belanda dahulu) , beranggapan bahwa Indonesia terhindar dari asas persamaan hukum pemerintah belanda. Hal tersebut juga diperkuat oleh J. Van Der Vinne yaitu seorang ahli jajahan Belanda yang beranggapan bahwa hukum Belanda tidak bisa diberlakukan di Indonesia karena masyarakatnya pluralis. Sehingga jika tetap diberlakukan menurut J. Van Der Vinne hal ini melanggar hak-hak adat istiadat dan akann memecah banyak sendi-sendi hukum.
Kupasan Van der Vinne inilah yang dijadikan pedoman pemerintah Belanda dan ikut mempengaruhi kedudukan hukum adat.

B.  Masa Pada tahun 1848 dan Seterusnya.
Hukum adat menjadi masalah politik hukum pada saat pemerintah Hindia Belanda akan memberlakukan hukum eropa atau hukum yang berlaku di Belanda menjadi hukum positif di Hindia Belanda (Indonesia) melalui asas konkordansi. Mengenai hukum adat timbulah masalah bagi pemerintah colonial, sampai dimana hukum ini dapat digunakan bagi tujuan-tujuan Belanda serta kepentingan-kepentingan ekonominya, dan sampai dimana hukum adat itu dapat dimasukkan dalam rangka politik Belanda. Kepentingan atau kehendak bangsa Indonesia tidak masuk perhitungan pemerintah colonial. Apabila diikuti secara kronologis usaha-usaha baik pemerintah Belanda di negerinya sendiri maupun pemerintah colonial yang ada di Indonesia ini, maka secara ringkasnys undang-undang yang bertujuan menetapkan nasib ataupun kedudukan hukum adat seterusnya didalam system perundang-undangan di Indonesia, adalah sebagai berikut :
1.      Mr. Wichers, Presiden Mahkamah Agung, ditugaskan untuk menyelidiki apakah hukum adat privat itu tidak dapat diganti dengan hukum kodifikasi Barat. Rencana kodifikasi Wichers gagal/
2.      Sekitar tahun 1870, Van der Putte, Menteri Jajahan Belanda, mengusulkan penggunaan hukum tanah Eropa bagi penduduk desa di Indonesia untuk kepentingan agraris pengusaha Belanda. Usaha inipun gagal.
3.     Pada tahun 1900, Cremer, Menteri Jajahan, menghendaki diadakan kodifikasi local untuk sebagian hukum adat dengan mendahulukan daerah­, daerah yang penduduknya telah memeluk agama Kristen. Usaha ini belum terlaksana.
4.     Kabinet Kuyper pada tahun 1904 mengusulkan suatu rencana undang­undang untuk menggantikan hukum adat dengan hukum Eropa. Pemerintah Belanda menghendaki supaya seluruh penduduk asli tunduk pada unifikasi hukum secara Barat. Usaha ini gagal, sebab Parlemen Belanda menerima suatu amandemen yakni amandemen Van Idsinga.
5.     Pada tahun 1914 Pemerintah Belanda dengan tidak menghiraukan amandemen Idsinga, mengumumkan rencana KUH Perdata bagi seluruh golongan penduduk di Indonesia. Ditentang oleh Van Vollenhoven dan usaha ini gagal.
6.      Pada tahun 1923 Mr. Cowan, Direktur Departemen Justitie di Jakarta membuat rencana baru KUH Perdata dalam tahun 1920, yang diumumkan Pemerintah Belanda sebagai rencana unifikasi dalam tahun 1923. Usaha ini gagal karena kritikan Van Vollenhoven. Pengganti Cowan, yaitu Mr Rutgers memberitahu bahwa meneruskan pelaksanaan kitab undang­undang kesatuan itu tidak mungkin. Dalam tahun 1927 Pemerintahn Hindia Belanda mengubah haluannya, menolak penyatuan hukum (unifikasi). Sejak tahun 1927 itu politik Pemerintah Hindia Belanda terhadap hukum adat mulai berganti haluan, yaitu dari “unifikasi” beralih ke “kodifikasi”.
Hukum adat menjadi masalah politik hukum pada saat pemerintah Hindia Belanda akan memberlakukan hukum Eropa atau hukum yang berlaku di Belanda menjadi hukum positif di Hindia Belanda (Indonesia) melalui asas konkordansi. Mengenai hukum adat timbulah masalah bagi pemerintah colonial, sampai dimana hukum ini dapat digunakan bagi tujuan-tujuan Belanda serta kepentingan-kepentingan ekonominya, dan sampai dimana hukum adat itu dapat dimasukkan dalam rangka politik Belanda. Kepentingan atau kehendak bangsa Indonesia tidak masuk perhitungan pemerintah colonial. Apabila diikuti secara kronologis usaha-usaha baik pemerintah Belanda di negerinya sendiri maupun pemerintah colonial yang ada di Indonesia ini, maka secara ringkasnys undang-undang yang bertujuan menetapkan nasib ataupun kedudukan hukum adat seterusnya didalam system perundang-undangan di Indonesia, adalah sebagai berikut:
7.      Mr. Wichers, Presiden Mahkamah Agung, ditugaskan untuk menyelidiki apakah hukum adat privat itu tidak dapat diganti dengan hukum kodifikasi Barat. Rencana kodifikasi Wichers gagal/
8.      Sekitar tahun 1870, Van der Putte, Menteri Jajahan Belanda, mengusulkan penggunaan hukum tanah Eropa bagi penduduk desa di Indonesia untuk kepentingan agraris pengusaha Belanda. Usaha inipun gagal.
9.      Pada tahun 1900, Cremer, Menteri Jajahan, menghendaki diadakan kodifikasi local untuk sebagian hukum adat dengan mendahulukan daerah­, daerah yang penduduknya telah memeluk agama Kristen. Usaha ini belum terlaksana.
10.  Kabinet Kuyper pada tahun 1904 mengusulkan suatu rencana undang­undang untuk menggantikan hukum adat dengan hukum Eropa. Pemerintah Belanda menghendaki supaya seluruh penduduk asli tunduk pada unifikasi hukum secara Barat. Usaha ini gagal, sebab Parlemen Belanda menerima suatu amandemen yakni amandemen Van Idsinga.
11.  Pada tahun 1914 Pemerintah Belanda dengan tidak menghiraukan amandemen Idsinga, mengumumkan rencana KUH Perdata bagi seluruh golongan penduduk di Indonesia. Ditentang oleh Van Vollenhoven dan usaha ini gagal.
12.  Pada tahun 1923 Mr. Cowan, Direktur Departemen Justitie di Jakarta membuat rencana baru KUH Perdata dalam tahun 1920, yang diumumkan Pemerintah Belanda sebagai rencana unifikasi dalam tahun 1923. Usaha ini gagal karena kritikan Van Vollenhoven. Pengganti Cowan, yaitu Mr Rutgers memberitahu bahwa meneruskan pelaksanaan kitab undang­undang kesatuan itu tidak mungkin. Dalam tahun 1927 Pemerintahn Hindia Belanda mengubah haluannya, menolak penyatuan hukum (unifikasi). Sejak tahun 1927 itu politik Pemerintah Hindia Belanda terhadap hukum adat mulai berganti haluan, yaitu dari “unifikasi” beralih ke “kodifikasi”.
C. Sejak tahun 1927.
Dalam tahun 1927 Pemerintahn Hindia Belanda mengubah haluannya, menolak penyatuan hukum (unifikasi). Sejak tahun 1927 itu politik Pemerintah Hindia Belanda terhadap hukum adat mulai berganti haluan, yaitu dari “unifikasi” beralih ke “kodifikasi”.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar